Wednesday, July 4, 2018

木曜日、2018年5月7日

Translation Contest (English - Indonesian)

Thursday, 7/5/2018

Source: Proz.com (only for member)

People crave silence, yet are unnerved by it, The Economist

 

 








“The Sounds of Silence”
 
A theme of the age, at least in the developed world, is that people crave silence and can find none. The roar of traffic, the ceaseless beep of phones, digital announcements in buses and trains, TV sets blaring even in empty offices, are an endless battery and distraction. The human race is exhausting itself with noise and longs for its opposite—whether in the wilds, on the wide ocean or in some retreat dedicated to stillness and concentration. Alain Corbin, a history professor, writes from his refuge in the Sorbonne, and Erling Kagge, a Norwegian explorer, from his memories of the wastes of Antarctica, where both have tried to escape.

And yet, as Mr Corbin points out in "A History of Silence", there is probably no more noise than there used to be. Before pneumatic tyres, city streets were full of the deafening clang of metal-rimmed wheels and horseshoes on stone. Before voluntary isolation on mobile phones, buses and trains rang with conversation. Newspaper-sellers did not leave their wares in a mute pile, but advertised them at top volume, as did vendors of cherries, violets and fresh mackerel. The theatre and the opera were a chaos of huzzahs and barracking. Even in the countryside, peasants sang as they drudged. They don’t sing now.

What has changed is not so much the level of noise, which previous centuries also complained about, but the level of distraction, which occupies the space that silence might invade. There looms another paradox, because when it does invade—in the depths of a pine forest, in the naked desert, in a suddenly vacated room—it often proves unnerving rather than welcome. Dread creeps in; the ear instinctively fastens on anything, whether fire-hiss or bird call or susurrus of leaves, that will save it from this unknown emptiness. People want silence, but not that much.
 

Indonesian translation:

Sebuah tema generasi, setidaknya di negara maju, yang menunjukkan bahwa orang mendambakan keheningan dan tidak dapat menemukannya. Suara bising lalu lintas, suara telepon yang tak henti-hentinya berbunyi, suara pengumuman digital di bis dan kereta, suara perangkat televisi yang dipasang hingga memekakkan telinga bahkan dalam keadaan kantor kosong, adalah serangan mental tidak langsung dan gangguan psikologis tanpa henti. Manusia menghabiskan hidupnya dalam suara bising dan mendambakan hal sebaliknya—apakah dalam hutan rimba, samudera luas, atau di tempat retret yang dikhususkan untuk ketenangan dan pemusatan konsentrasi. Alain Corbin, seorang profesor sejarah, menulis dari tempat pengungsiannya di Sorbonne, dan Erling Kagge, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia, dari ingatannya saat menjelajah dataran tandus Antartika, tempat asal kedua orang ini telah mencoba melarikan diri.

Namun demikian, seperti Tuan Corbin tunjukkan dalam karya berjudul “A History of Silence (Sejarah dari Keheningan)”, saat ini mungkin tidak ada lagi suara bising seperti yang dahulu kala. Sebelum ditemukannya ban angin (pneumatik), jalan-jalan di kota besar dahulu penuh dengan suara bising yang memekakkan telinga berasal dari bunyi roda berlapiskan logam dan bunyi ketoplak sepatu kuda yang bertubrukan dengan batu. Sebelum diberlakukan larangan penggunaan telepon genggam secara sengaja, bis dan kereta penuh dengan suara percakapan telepon. Para penjual koran tidak meninggalkan barang dagangan mereka dalam tumpukan bisu, namun mengiklankannya dengan suara keras-keras, sebagaimana juga dilakukan pedagang buah cheri, pedagang bunga violet dan pedagang ikan makarel segar. Teater dan opera berada dalam kondisi kisruh penuh dengan suara gemuruh sorak-sorai dan suara teriakan penonton. Bahkan di wilayah pedesaan, para petani saat itu bernyanyi sambil bekerja membanting tulang. Mereka tidak bernyanyi lagi sekarang.

Apa yang berubah bukanlah seberapa keras tingkat suara bisingnya, ketika generasi seabad sebelumnya juga keluhkan, namun tingkat gangguannya, tempat kebisingan memenuhi ruang tersebut dimana keheningan mungkin menyerbu. Disitu terjadi suatu kondisi paradoks lainnya, karena ketika suara bising ini benar-benar menyerbu misalnya di kedalaman hutan pinus, di padang hamparan pasir, di sebuah ruangan yang dikosongkan tiba-tiba — kondisi ini biasanya menimbulkan rasa takut lebih dibandingkan dengan rasa hangat. Rasa ngeri mulai merasuk; syaraf telinga secara naluri menegang bereaksi terhadap suara sekecil apapun, entah bunyi desis-api atau suara cericip burung ataupun suara gemerisik dedaunan, yang akan menghindarkan perasaan ngeri dari kehampaan suara yang sebelumnya tidak dikenali ini. Orang menginginkan keheningan, namun tidak terlalu hening.
 
 Comment:
 

It's a pity .. I don't have any ready cash to join the competition to qualify.... Well, since I don't have enough bucks to buy the subscription in Proz.com membership, I'll just post my translation result here. Feel free to comment/input/constructive criticism here.

Most probably I also didn't see any actual benefits (as stated) on the ads - and it's quite expensive here if you convert it to Rupiah (which is around Rp.1.724.520/Rp. 2.586.600) ($120/$180 per year)) - and it's not even the Pro version/Business version). I know probably you think I'm stingy but I have to be thrifty to count all the benefits of the membership compared to if I use the money for something else...
Source: https://www.proz.com/translation-contests/44#about_source_texts